JURNALNUSANTARA.NET – Di tengah maraknya keluhan mitra pengemudi soal potongan pendapatan dari aplikator transportasi daring, Jogjakita justru hadir dengan skema bisnis yang lebih manusiawi dan berpihak pada mitra. Aplikator lokal asal Yogyakarta ini memberikan 100 persen hasil penjualan kepada mitra usaha seperti restoran, tanpa potongan sepeser pun.
“Full seratus persen kami berikan kepada mitra bisnis atau resto. Kami tidak mengambil keuntungan dari sana,” ujar Ibnu Sunanto, Founder sekaligus Komisaris utama Jogjakita.
Tak hanya itu, bagi hasil dengan pengemudi ojek online Jogjakita juga tergolong sangat rendah. Ibnu menjelaskan, potongan hanya sebesar 6 persen dari setiap perjalanan, jauh di bawah batas maksimal 15 persen yang diatur oleh Kementerian Perhubungan.
“94 persen menjadi hak driver sepenuhnya. Ini bentuk komitmen kami sebagai aplikator lokal yang mengedepankan kesejahteraan mitra,” imbuh Ibnu.
Prinsip nasionalisme menjadi fondasi utama Jogjakita. Seluruh operasional dikelola tanpa keterlibatan asing, menjadikannya sebagai aplikator berbasis lokal dengan idealisme kuat. Sejak berdiri empat tahun lalu, Jogjakita telah memiliki sekitar 1.200 driver dan ratusan mitra resto di Yogyakarta, khususnya wilayah Kota, Sleman, dan Bantul.
“Kami percaya bahwa membangun usaha harus berakar pada tiga hal: nasionalisme, ideologi ekonomi, dan budaya,” tegas Ibnu.
Menurutnya, budaya tak hanya soal kesenian, tetapi juga mencakup etos menghargai tenaga kerja dan keadilan dalam berbisnis, nilai yang kian langka di era digital saat ini.
Bagi para mitra pengemudi, sistem Jogjakita jelas memberi angin segar. Ardi, salah satu driver, mengaku tidak ikut aksi demonstrasi besar-besaran pada 20 Mei 2025 lalu, karena merasa perlakuan aplikator yang dia jalani sudah adil.
“Di aplikator lain potongannya bisa sampai 20 persen, tapi di Jogjakita cuma 6 persen. Jelas lebih menguntungkan buat kami,” katanya.
Dengan konsep berbasis keadilan, lokalitas, dan keberpihakan pada mitra, Jogjakita tak hanya menjadi alat transportasi, tapi juga simbol gerakan ekonomi kerakyatan yang lahir dari dan untuk Yogyakarta. (*/rmd)